Mr. Akhlis, Pendiri EECC dari Kota Demak
Nur Akhlis lahir dan besar dari keluarga sederhana di Desa Wonorejo, Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak, dekat dengan perbatasan Kota Kudus Jawa tengah. Semenjak kecil ia selalu dinasehati untuk sekolah dan mengaji. Makanya sejak SD sampai SLTA Akhlis selalu merangkap sekolah di madrasah dan di sekolah umum. Ketika pagi sekolah di SDN 1 Wonorejo, siangnya masuk lagi di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Mazroatul Huda Wonorenggo.
Waktu SMA (di SMA Al ma’ruf Kudus) beliau juga sambil mondok di KH. Ma’ruf , Langgar Dalem Kudus. Paginya, beliau belajar di Madrasah Diniyah NU Kradenan Kudus dibawah asuhan KH. Sya’roni Ahmadi. Setelah tamat dari SMA tahun 1986 beliau melanjutkan study di kota Kediri, masuk di Pondok Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo sambil kuliah di Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri.
Bertemu Gus Mik
Pada saat-saat akhir kuliah di Tribakti, Akhlis muda tinggal di sebuah rumah kos di daerah Bandar Kediri. Kos kosan itu berhadapan dengan rumah KH. Muchtar, tempat dimana seorang Kyai kharismatik yang bernama KH. Chamim jazuli atau yang sering dipanggil Gus Mik biasa transit.
Suatu ketika, Aklish muda setelah kuliah seperti biasa langsung menuju kos bersama dengan dua orang temannya. Ketika mendekati rumah kos, di rumah KH. Muchtar ada Gus Mik yang lagi transit dan melambaikan tangan isyarat memanggil ke mereka bertiga. Mereka bertiga pun kaget bukan main karena saat itu Gus Mik adalah Kyai yang sangat populer dan salah satu yang paling disegani di tanah air. Mereka kaget dan juga bercampur senang karena dipanggil dan akhirnya mendekat dan dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
Setelah bersalaman dan mencium tangan, khas adab seorang santri terhadap Kyai, Gus Mik mempersilakan mereka duduk. Gus Mik kemudian bertanya, “Kamu sekolah dimana?” Mereka kompak menjawab di Tribakti. Beliau lantas melanjutkan pertanyaannya, “Sudah semester berapa?” Mereka menjawab, “Sudah semester akhir Kiai”. Kemudian beliau diam sejenak sambil menghisap Dji Sam Soe.
Setelah itu beliau bertanya lagi, “ Habis ini kalian mau kemana?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan paling sulit bagi mereka. Mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya ada yang memberanikan berkata “Belum bisa menjawab Kiai”. Tahu akan kebingungan ketiga pemuda itu, Gus Mik kemudian dawuh memberikan saran. “Kalian pergi ke Pare saja, kursus bahasa Inggris.
Mendengar saran dari Pak kyai, tiga pemuda itu terdiam. Mereka terdiam karena bingung kenapa malah disarankan untuk kursus bahasa Inggris. Bahasa yang tidak populer bagi kalangan santri waktu itu. Stigma bahasa Inggris waktu itu masih lekat dengan bahasanya orang kafir, dan tidak menjadi pertanyaan kubur. Sedang mereka adalah calon sarjana Pendidikan Agama Islam. Susah untuk mencari benang merahnya. Setelah berdiskusi, akhirnya hanya satu orang dari tiga pemuda tadi yang berangkat ke Pare untuk niat takdhim kepada Pak kyai, dan satu orang itu adalah Nur Akhlis.
Kalah start, menang finish.
Setelah mendaftar dan mulai belajar di BEC, Aklish muda mulai merasa ketinggalan jika dibandingkan dengan teman-teman satu kelasnya yang saat itu rata-rata adalah fresh graduate tamatan SMA. Dia menyadari bahwa memang selama ini ia tidak pernah mendalami bahasa Inggris. “Seingat saya, hanya kata “yes, no, dan I love you” saja yang saya tahu waktu itu” ungkapnya dikemudian hari. Namun, dengan modal semangat yang tinggi dan niat takdhim pada Pak kyai, Akhlis muda mulai belajar keras di luar jam kelas dan mulai menanamkan dalam hati, “saya boleh kalah start, tapi saya harus menang di finish nanti”. Akhlis muda juga sering bertanya pada teman-temannya yang dianggapnya lebih mengerti.
Usaha memang tidak menghianati hasil. Karena akhirnya, setelah 6 bulan belajar, di akhir periode pada acara Farewel Party, Mr. Kalend menobatkan Aklish muda menjadi “The Best One” atau lulusan terbaik BEC program TC periode 33 tahun 1991.
Menikah dengan Tutor BEC
Salah satu hikmah untuk berkhidmah pada kiai adalah kita tidak pernah tahu berkah apa yang akan kita dapatkan di kemudian hari. Untuk Mr. Akhlis, selain pada akirnya benar-benar mndapatkan ilmu bahasa Inggris, ia juga mendapatkan jodohnya di Pare. Gadis itu tidak lain adalah salah seorang tutornya di BEC yaitu Miss Liliek Sosiowati yang merupakan “anak” kesayangan dari Mr. Kalend. Ini karena Miss Liliek sudah menjadi bagian dari perjalanan awal BEC. Mr. Kalend juga senang karena Miss Liliek mendapatkan jodoh siswa terbaiknya di BEC yang merupakan seorang sarjana muda dan sekaligus seorang santri dari Lirboyo. Kombinasi profil yang masih sangat langka waktu itu.
Membagi ilmu di Lirboyo
Setelah menikah, Mr. Akhlis dan Miss Liliek melanjutkan kehidupan mereka seperti sedia kala. Miss Liliek tetap mengajar seperti biasa di BEC, sedang Mr. Akhlis kembali ke Lirboyo untuk mendirikan kursus bahasa Inggris sambil mengabdi disana. Mr. Akhlis pulang ke Pare hanya saat ahir pekan saja, itupun seringkali tidak pulang karena pertimbangan biaya transportasi. Maklum, bagi mereka waktu itu adalah masa-masa merintis kehidupan keluarga baru mereka dan masih serba kekurangan. Meski demikian, kehidupan keluarga baru itu penuh dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu bertambah ketika mendapati bahwa Miss Liliek tengah hamil, mengandung calon buah hati pertama mereka.
Mendirikan kursus & Mengajar di BEC
Ketika kehamilan sang istri sudah terlihat mulai membesar, Mr. Aklish mendapat kabar dari istri bahwa beliau diminta oleh Mr. Kalend untuk mendirikan kursus dirumah dan juga menggantikan tugas Miss Liliek yaitu mengajar di BEC. Mr. Akhlis merasa senang karena bisa bekerja dekat dengan istri, namun disisi lain juga merasa sedih karena harus meninggalkan kursusan yang sudah dirintisnya di Kediri. Maka sejak saat itu, di pagi hari Mr. Akhlis pergi ke BEC untuk mengajar disana dan siang harinya mengajar di rumah bersama istri. Kursusan dirumah itu akhirnya dinamai “Effective English Conversation Course” dan disingkat dengan EECC.
Mr. Kalend memberikan perhargaan khusus untuk EECC dengan menjadikannya sebagai cabang BEC. Perhargaan itu diberikan dengan catatan bahwa, materi, metode dan kurikulum harus disamakan dengan BEC. EECC ditugasi untuk mengajar program dasar, yaitu setara program 3 bulan pertama di BEC dan mempunyai kesempatan untuk mentransfer siswanya yang sudah selesai untuk lanjut ke BEC langsung masuk TC (program level lanjut, bulan keempat).
Di BEC Mr. Akhlis kemudian menjadi tutor yang disegani dan sekaligus menjadi seksi intelektual BEC yang banyak memberikan masukan untuk perkembangan BEC. Para alumni BEC tahun 90an dan 2000an awal tentu tahu bahwa modul yang dipakai oleh BEC waktu itu bertuliskan Nur Akhlis di sampulnya karena memang modul itu adalah karangan dari beliau.
Semakin dikenal di Kediri
Semakin ramainya Pare dan ditambah boomingnya istilah Kampung Inggris Pare diakhir tahun 90an membuat Mr. Aklish juga semakin dikenal luas dimana-mana, khususnya di Kediri. Beliau juga sudah mulai diminta untuk mengajar di berbagai kampus di Kediri. Dan sejak tahun 2000 sampai 2005 beliau juga diminta oleh Pemkab Kediri untuk menjadi interpreter.
Kegiatan yang padat itu beliau jalani sambil menempuh Program Pascasarjana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Islam Malang (UNISMA) dan lulus tahun 2005. Pada tahun 2006 beliau menjadi dosen tetap sebagai PNS di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri (dulu STAIN). Setelah itu, waktu beliau lebih banyak digunakan untuk fokus mengajar di IAIN Kediri sambil aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.
Wafat dalam tugas
Hingga menjelang wafatnya, Mr. Akhlis aktif dalam Forum Kampung Bahasa (FKB) sebagai penasehat. Beliau juga adalah ketua takmir Masjid Assalman Pare. Dan Beliau menjadi salah satu Ketua Pengurus Cabang Nahdlotul Ulama Kab. Kediri. Hingga waktu menutup usia, beliau baru saja selesai menjalankan tugas pelatihan sebagai calon pembimbing haji Jawa Timur untuk persiapan pemberangkatan haji tahun 2020. Beliau menghembuskan nafas pada tanggal 24 Maret tahun 2020 di Pare Kediri dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di kompleks pemakaman Tegalsari Pare Kediri.
Semoga Amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan diampunkan seluruh dosa-dosanya. Allahummagfirlahu, warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Amiin.